Pengusaha Hotel dan Restoran Kritik Tarif Royalti Musik, Minta Perubahan Regulasi

Featured Image

BSD City, Arteesid.com. Masalah kewajiban membayar royalti atas pemutaran musik di tempat usaha seperti hotel, restoran, dan kafe kembali menjadi perbincangan hangat. Meskipun sebagian besar musisi sudah memilih untuk menggratiskan lagu mereka, isu ini tetap menimbulkan ketegangan antara pelaku usaha dan para pencipta karya.

Aturan yang Dinilai Memberatkan

Presiden Direktur Sahid Hotels & Resorts sekaligus Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, menyampaikan bahwa aturan saat ini dinilai memberatkan dan perlu segera direvisi. Ia menyoroti bahwa tagihan royalti sering kali ditarik mundur hingga dari tahun 2014, meskipun UU Hak Cipta mulai berlaku pada masa itu. Menurutnya, seharusnya hanya periode yang sedang berjalan yang menjadi dasar penagihan.

Selain itu, ia menyoroti minimnya sosialisasi terkait aturan tersebut serta praktik penagihan yang kerap melibatkan aparat penegak hukum. Hal ini menambah kompleksitas masalah yang dihadapi pelaku usaha.

Tarif yang Tidak Relevan

Hariyadi juga mengkritik mekanisme penetapan tarif yang dihitung berdasarkan jumlah kamar hotel, kursi restoran, atau luas area. Menurutnya, pendapatan usaha tidak selalu konsisten, terlebih jika musik hanya digunakan sebagai latar belakang. Dengan sistem tarif seperti ini, musik justru dianggap sebagai barang mahal di tempat usaha.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam penyusunan tarif, bukan hanya mengesahkan usulan dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). PHRI juga meminta agar pencipta diberi hak untuk secara resmi membebaskan karyanya dari royalti tanpa diabaikan oleh LMK.

Pengelolaan Dana Royalti yang Perlu Transparansi

PHRI keberatan jika biaya operasional LMK atau LMKN diambil dari dana royalti yang dipungut. Menurut Hariyadi, biaya tersebut seharusnya berasal dari iuran anggota atau sumber lain yang sah. Ia menilai bahwa penggunaan dana royalti untuk biaya operasional dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha.

Selain itu, PHRI menyoroti PP 56/2021 yang memberi kewenangan kepada LMKN untuk menarik royalti dari semua pengguna, termasuk yang memutar lagu ciptaan sendiri atau lagu bebas royalti. Ia menilai bahwa seharusnya hanya lagu dari pencipta yang menjadi anggota LMK saja yang dibayarkan.

Definisi “Komersial” yang Perlu Disempitkan

Hariyadi menilai bahwa definisi "komersial" dalam PP 56/2021 perlu dipersempit hanya untuk usaha yang menjual lagu sebagai produk utama, seperti karaoke, diskotek, konser, atau pertunjukan musik. Ia menegaskan bahwa jika musik hanya digunakan sebagai backsound, maka tidak perlu membayar royalti. Pemutaran lagu di tempat usaha justru bisa membantu promosi karya pencipta.

Transparansi dan Audit Akuntan Publik

Soal pendistribusian dana royalti, Hariyadi menekankan perlunya transparansi penuh dan audit akuntan publik. Ia menilai bahwa royalti yang dibayarkan merupakan titipan dari masyarakat kepada pencipta, sehingga pemerintah wajib mengawasi pendistribusiannya dan memiliki perwakilan dalam kepengurusan LMKN.

Sistem Informasi Lagu dan Musik yang Belum Terealisasi

PHRI juga menyoroti belum terealisasinya Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sebagaimana amanat PP 56/2021. Ia menilai bahwa jika sampai batas waktu tidak terwujud, aturan tersebut seharusnya batal demi hukum. Pemerintah harus konsisten dalam menjalankan aturan yang telah ditetapkan.

Penarikan Tarif Royalti dalam Struk Tagihan

Terkait kabar penarikan tarif royalti yang dicantumkan terpisah dalam struk atau tagihan konsumen, PHRI mengaku belum menerima laporan. Namun, Hariyadi menilai praktik tersebut tidak tepat. Ia menegaskan bahwa tamu datang ke hotel atau restoran untuk tujuan utama, bukan untuk mendengarkan lagu. Jika dimasukkan dalam struk, pasti akan ada tamu yang protes.

Urgensi Revisi UU Hak Cipta

Hariyadi menegaskan urgensi revisi UU Hak Cipta agar kegaduhan terkait royalti tidak berlarut-larut. Menurutnya, masyarakat belum bisa percaya kepada LMKN karena pengurusnya tidak satupun ada perwakilan dari pemerintah. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh menyerahkan sepenuhnya urusan pemungutan kepada LMKN/LMK. Tanpa keterlibatan pemerintah, LMKN bisa menjadi lembaga superbodi yang hanya melihat kepentingan pencipta, tanpa mempertimbangkan kemampuan masyarakat.

Baca Juga
Posting Komentar
EVENT ICE BSD CITY
14-17 Aug 2025
15 - 17 Aug 2025
16 Aug 25
16 Aug 25
16 Aug 25
21 - 13 Aug 25
22 - 24 Aug 25
28 - 30 Aug 25
29 - 31 Aug 25
5 - 7 Sept 25
1-19 Sep 25
25-28 Sep 25
25-28 Sep 25
15-19 Sep 25
25-28 Sep 25
6-7 Nov 25
6-7 Nov 25
6-7 Nov 25
6-9 Nov 25
6-9 Nov 25
6-9 Nov 25
6-9 Nov 25
6-9 Nov 25
Produk Pilihan
229.000
Artees.ID
130.000
ArteesID
110.000
ArteesID
295.000
ArteesID
199.000
ArteesID
199.000
ArteesID
199.000
ArteesID
199.000
ArteesID
175.000
ArteesID
195.000
ArteesID
275.000
ArteesID
195.000
ArteesID
189.000
ArteesID
11.750.000
Terjual 10
5.999.000
Terjual 24
3.599.000
Terjual 18
2.161.500
Terjual 17
450.000
Terjual 10
Rp. 115.000
Terjual 17
Rp. 135.000
Terjual 9
Rp. 245.000
Terjual 10
Rp. 225.000
Terjual 17
Rp. 135.000
Terjual 9
Rp. 135.000
Terjual 7