Pendidikan Berasrama Al-Zaytun: Model Moderasi dan Perdamaian Islam
Jabar, Arteesid.com. Dalam wawancara di kanal YouTube LognewsTV, KH Mukti Ali Kusairi Ketua LBM PWNU DKI Jakarta sekaligus anggota Dewan Fatwa MUI Pusat menyampaikan pandangannya terkait kontroversi hukum yang menimpa pimpinan Pesantren Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang. Diskusi ini membahas isu agama, politik, hingga dampak psikologis pada publik.
Islam Sebagai Agama Perdamaian
Menurut KH Mukti Ali, Islam sejatinya membawa pesan perdamaian, kebaikan, serta kemanusiaan, sebagaimana agama-agama lain yang bersumber dari Tuhan. Namun, ia menekankan perlunya membedakan antara Islam sebagai ajaran agama, sebagai produk pemikiran, dan sebagai praktik sosial.
Kesalahan publik, katanya, sering muncul ketika Islam dinilai hanya dari perilaku sebagian kelompok atau tokoh, padahal hal itu tidak selalu mencerminkan nilai ajaran sebenarnya.
Menyikapi Perbedaan Pemikiran
KH Mukti Ali menilai bahwa perbedaan pandangan dalam Islam adalah hal wajar karena dipengaruhi konteks sosial, politik, dan budaya. Ia mencontohkan tradisi keilmuan masa lalu, seperti perdebatan antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, yang justru memperkaya khazanah pemikiran Islam.
“Kalau terjadi perbedaan pemikiran, cara menyelesaikannya bukan lewat demonstrasi, tapi dengan diskusi, tulisan, dan dialog,” tegasnya.
Polemik Panji Gumilang dan Peran Pemerintah
Terkait kontroversi Syaykh Panji Gumilang, KH Mukti Ali menilai masalah berawal dari potongan video yang viral di media sosial. Pemerintah, menurutnya, harus melakukan verifikasi terhadap bukti asli sebelum melangkah ke ranah hukum.
“Kalau ternyata video aslinya tidak bermasalah, berarti kesalahan ada pada pihak yang memotong video itu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah sebaiknya tidak mengambil keputusan berdasarkan tekanan massa, melainkan berlandaskan prosedur hukum yang berlaku.
Kontribusi Pendidikan Syaykh Panji Gumilang
Sebagai tokoh NU, KH Mukti Ali mengingatkan bahwa Syaykh Panji Gumilang punya kontribusi besar dalam dunia pendidikan melalui pengembangan sistem pesantren mandiri di Al-Zaytun.
“Selama kontribusinya positif dan membangun, seharusnya diberi apresiasi,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya meredam persaingan antar tokoh agama agar fokus pada karya nyata bagi umat.
Dampak Psikologis dan Harapan Ke Depan
Penahanan Syaykh Panji Gumilang, menurut KH Mukti Ali, bisa menimbulkan trauma psikologis, baik pada santri dan wali santri Al-Zaytun, maupun pada masyarakat.
“Psikologi publik itu beragam. Ada yang kritis sehingga tidak mudah percaya hoaks, ada juga yang cepat terprovokasi,” jelasnya.
Ia mendorong agar Al-Zaytun semakin inklusif, tidak hanya dengan agama lain, tetapi juga dengan organisasi Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah. Tujuannya, untuk membuka ruang dialog dan membangun pemahaman bersama.
Penutup
KH Mukti Ali menekankan pentingnya sikap arif, lembut, serta mengutamakan dialog antar pemuka agama. Baginya, perbedaan pemikiran sebaiknya dijawab dengan pemikiran, bukan dengan aksi massa.
"Tak kenal maka tak sayang. Dialog dan silaturahim adalah kunci agar kesalahpahaman tidak terus berulang,” pungkasnya.