Menanam Ilmu, Menumbuhkan Peradaban: Spirit Fiqih Sosial di Kampus Al-Zaytun


Arteesid.com - Dalam wawancara eksklusif bersama LognewsTV, KH. Atmossodiq Bahrum, tokoh pendidikan Islam dan pengajar senior, menegaskan kembali pentingnya Kampus Al-Zaytun sebagai pusat pembentukan karakter dan laboratorium kehidupan sosial.

Menurutnya, Al-Zaytun bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi juga wadah pembentukan peradaban Islam yang menyeimbangkan antara ilmu, moral, dan amal. “Fiqih itu bukan hanya soal hukum, tapi cara hidup. Al-Zaytun adalah tempat di mana fiqih sosial itu hidup dalam keseharian,” ujarnya. 

Fiqih Sosial dan Tantangan Modernitas 

Konsep fiqih sosial menjadi sorotan utama dalam pembahasan ini. KH. Atmossodiq menjelaskan bahwa fiqih sosial merupakan upaya mengaktualisasikan ajaran Islam dalam konteks sosial kemasyarakatan.
“Islam itu tidak hanya mengatur hubungan kita dengan Allah, tapi juga dengan manusia. Inilah fiqih sosial, fiqih yang hidup dalam masyarakat,” katanya. 
Ia menyoroti bahwa tantangan utama Kampus Al-Zaytun saat ini adalah bagaimana mempertahankan ruh fiqih sosial di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali membuat nilai-nilai spiritual terpinggirkan. 
“Anak-anak muda sekarang mudah sekali terseret oleh budaya digital yang instan. Al-Zaytun harus menjadi penyeimbang, menghadirkan Islam yang rasional tapi tetap berakar pada tradisi,” tambahnya. 

Peran Al-Zaytun dalam Menjaga Peradaban 

Selain sebagai tempat menimba ilmu, Kampus Al-Zaytun juga berperan penting dalam membangun peradaban Islam. KH. Atmossodiq menilai bahwa sejarah pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga-lembaga seperti Al-Zaytun. 
“Kalau kita lihat perjalanan bangsa ini, dari masa perjuangan sampai kemerdekaan, lembaga pendidikan Islam selalu ada di garis depan. Tapi kini tantangannya berbeda, bukan lagi melawan penjajahan fisik, melainkan penjajahan nilai dan moral,” jelasnya. 
Ustadz Aziz, salah satu pengajar muda di Al-Zaytun yang turut hadir dalam wawancara, menambahkan bahwa generasi kampus saat ini harus lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun keterbukaan itu, kata dia, tidak boleh menghapus akar tradisi. 
“Al-Zaytun bisa modern tanpa kehilangan jati diri. Kita perlu membangun peradaban, bukan sekadar meniru,” ujarnya. Menjawab Isu dan Fitnah terhadap Al-Zaytun Dalam kesempatan tersebut, para narasumber juga menyinggung isu-isu yang kerap menimpa Al-Zaytun. KH. Atmossodiq menegaskan pentingnya tabayyun (klarifikasi) dan keadilan informasi. 
“Jangan sampai lembaga pendidikan yang berjuang mencerdaskan bangsa justru difitnah tanpa dasar. Kita harus adil dalam menilai. Setiap kampus Islam punya kontribusi yang berbeda, dan semuanya berorientasi pada kemaslahatan,” tegasnya. 
Menurutnya, dakwah harus disampaikan dengan akhlak, bukan dengan tudingan dan kebencian. “Rasulullah berdakwah dengan kelembutan, bukan dengan amarah. Kalau ada perbedaan, mari duduk bersama, bukan saling menuduh,” tuturnya. 

Membangun Dakwah Berbasis Pengetahuan Menutup perbincangan 

Para tokoh ini menekankan pentingnya membangun dakwah yang berbasis pengetahuan, riset, dan data sosial. Dakwah di era digital, kata mereka, tidak cukup hanya dengan ceramah, melainkan perlu strategi komunikasi yang relevan dengan zaman. 
“Big data dan media sosial bisa dimanfaatkan untuk melihat kebutuhan umat, pola perilaku, dan isu yang berkembang. Tapi semua itu harus tetap dibingkai dengan etika dan nilai Islam,” ujar KH. Atmossodiq.) 
Dengan semangat itu, Kampus Al-Zaytun diharapkan tidak hanya menjadi penjaga moral bangsa, tetapi juga pusat inovasi sosial dan kultural dalam membangun peradaban Islam yang rahmatan lil alamin.

Sumber : lognews
Baca Juga
Posting Komentar