Arteesid.com - Indramayu – Pagi itu, Kamis 25 Desember 2025, suasana di pintu utara Ma’had Al-Zaytun tampak berbeda. Bukan bus-bus besar antarprovinsi yang datang, melainkan iring-iringan sederhana namun sarat keceriaan: lima mobil losbak dan dua odong-odong. Di atasnya, puluhan wajah mungil dari PAUD Melati Sari dan PAUD Matahari, Desa Temiyang Sari, tampak tak sabar ingin melihat apa yang ada di balik pepohonan rindang kampus tersebut.
Selama ini, Al-Zaytun bagi warga Temiyang Sari hanyalah tetangga besar yang sunyi di balik hutan jati. Namun hari itu, sekat tersebut terbuka lebar. Kunjungan pendidikan di masa libur sekolah ini menjadi jembatan rasa ingin tahu antara warga desa dengan pusat pendidikan yang kerap mengundang decak kagum tersebut.
"Istana" di Tengah Hutan: Dari Padi hingga Teknologi
Perjalanan dimulai saat jarum jam menunjuk angka 09.00 WIB. Didampingi oleh delapan ustadz dan ustadzah yang ramah, rombongan diajak melakukan "tawaf" pengenalan lingkungan. Destinasi pertama bukanlah ruang kelas, melainkan jantung ekonomi Ma’had: Istana Beras.
Anak-anak dan para orang tua terperangah melihat bagaimana butiran padi diproses dengan teknologi modern hingga siap saji. Tak jauh dari sana, Rumah Potong Ayam (RPA) dan pengolahan ikan tuna menunjukkan betapa mandirinya institusi ini dalam mengelola urusan perut ribuan santrinya.
"Senang sekali bisa melihat pengolahan beras dan ayam. Kelihatan sudah maju banget dengan teknologi, berbeda dengan kita yang di kampung. Di sini sudah seperti di luar negeri," ujar Ibu Ipah, guru PAUD Melati Sari yang sudah tiga kali berkunjung namun tetap merasa takjub dengan perubahan pesat yang ia lihat.
Masjid Rahmatan Lil 'Alamin: Simbol Kedamaian yang Memikat Hati
Puncak perjalanan spiritual dan visual terjadi saat rombongan menjejakkan kaki di Masjid Rahmatan Lil 'Alamin (RLA). Menara Pemuda Perdamaian yang menjulang tinggi menjadi saksi bisu filosofi besar yang sedang dibangun di sana. Di sini, para wali murid tidak hanya melihat kemegahan arsitektur, tapi juga merasakan hembusan angin sejuk di tengah lingkungan yang asri.
"Suasananya adem, sejuk, dan bangunannya bagus-bagus," ungkap Ibu Waituniati, salah satu wali murid. Kesan itu begitu mendalam bagi putranya, hingga sang anak berbisik lirih, "Bu, aku ingin sekolah di sini." Sebuah cita-cita kecil yang lahir dari sebuah perjalanan sederhana.
Kritik Membangun dari Hati Sang Tetangga
Meski decak kagum mendominasi, kejujuran warga desa sebagai "tetangga dekat" tetap mengemuka. Ibu Wiwi, Kepala Sekolah PAUD Matahari, memberikan catatan kecil dengan penuh kasih.
"Sangat berkesan, tapi saya lihat banyak daun berserakan di jalan. Kalau dibersihkan pasti lebih cantik lagi," tuturnya. Namun kalau di Ma'had Al Zaytun, dedaunan bukan sampah, tapi pupuk yang setiap sore dikumpulkan oleh santri." Jelas Maratu Shalihah. Bu Wiwi juga mendoakan agar pembangunan gedung yang belum selesai segera rampung agar wajah Al-Zaytun semakin sempurna sebagai pusat pendidikan yang luar biasa.
Pulang Membawa Inspirasi
Bagi Bapak Kepala Sekolah PAUD Melati Sari, kunjungan ini lebih dari sekadar wisata liburan. Ia melihat Al-Zaytun sebagai cermin kemajuan yang harus dicontoh. "Al-Zaytun adalah inspirasi bagi kami. Kami ingin menunjukkan kepada wali murid bahwa beginilah adanya Al-Zaytun, lingkungan yang modern dan mandiri," jelasnya mantap.
Menjelang tengah hari, setelah melepas lelah di Kantin Al-Zaytun dan menyeruput kopi di Cafe Kita, rombongan bersiap pulang. Mobil losbak dan odong-odong itu kembali bergerak menjauh, namun kali ini mereka membawa pulang sesuatu yang lebih berharga dari sekadar foto: rasa bangga memiliki tetangga yang menjadi mercusuar pendidikan di tanah kelahiran mereka.
Sumber : Lognews